Minggu, 26 Mei 2024

Menjadi PMI intelektual organik

Manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial. 
Sebagai makhluk individu, ia memiliki karakter yang unik. Berbeda satu dengan yang lain, bahkan seseorang yang merupakan hasil cloning tetap memiliki perbedaan baik dari fisik ataupun karakter.
Dan sebagai makhluk sosial ia membutuhkan manusia lain, membutuhkan sebuah kelompok dalam bentuknya yang minimal, yang mengakui keberadaannya, dan dalam bentuknya yang maksimal kelompok di mana dia dapat bergantung kepadanya. Di sisi lain sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri. Manusia membutuhkan kebersamaan dalam kehidupannya. Semua itu adalah dalam rangka saling memberi dan saling mengambil manfaat. Orang kaya tidak dapat hidup tanpa orang miskin yang menjadi pembantunya, pegawainya, sopirnya, dan seterusnya.

Dari pemaparan di atas, sejak pertama kali menginjakan kaki di perantauan, hal pertama yang saya lakukan adalah mencari komunitas masyarakat indonesia di jubail saudi arabia. Dan Alhamdulillah ternyata mencari warga negara indnesia di jubail ga sesulit mencari info masyarakat indonesia di jubail melalui dunia maya saat itu (2009). Dan dari pengalaman tersebut maka saya coba memberanikan diri menulis di blog tentang komunitas masyarakat indonesia di kota jubail dan alhamdulilah manfaatnya ternyata ga bisa dibayangkan. 

Setelah cukup ada manfaatnya cerita di blog, timbul keinginan agar memiliki wadah komunitas masyarakat indonesia jubail yang tujuaal awalnya saling tolong menolong sesaama warga indonesia di kota jubail. hal hal kecil dari sekedar berbagi ilmu tentang cara perpanjang passport, cara ngurus pindah sekolah anak, cara bawa family ke Saudi sampe cara ngurus proses PMI yang meninggaal dunia di perantauan.

Dari hal hal kecil diatas... ada mimpi besar merubah wajah PMI saudi arabia kearah yag lebih baik. karena dari waktu ke waktu persoalan tenaga kerja Indonesia (TKI) selalu klasik dan berputar-putar di wilayah yang itu-itu juga. Di satu sisi para TKI kita sebut pahlawan devisa. Namun, anehnya, di sisi lain para pahlawan ini diperlakukan dengan cara yang tak manusiawi. contoh yang sering saya tulis diblog ini ketika kita berada di bandara Indonesia...... bahasa kasarnya para koruptor bisa melenggang bebas di karpet merah bandara, sementara TKI harus ”disterilkan” melalui terminal dan lawang khusus yag justru banyak menyiksa para pahlawan devisa.

Kita sering menilai TKI dari segi ekonomi yang merendahkan martabat kemanusiaan. Secara salah kaprah kita mengamini ungkapan negara lain mengekspor produk, Indonesia mengekspor babu. Ungkapan ini sungguh melecehkan sumbangsih besar para TKI. Bahwa sumbangan devisa dari TKI sangat besar adalah fakta yang sama-sama kita ketahui. Kadang kita tidak sengaja membanding bandingkan para pekerja migran negara tetangga yang mendapatkan previlage ketika beerja diluar negeri. dari yang bisa mengimport kendaraan roda empat dari negara penempatan ke tanah air mereka. hingga beda gaji yang jomplang antara PMI dengan para overseas worker dari negara tetangga hingga perbedaan mekanisme penanganan kasus.

Kita kadang semudah itu menyalahkan perwakilan pemerintah ketika berbenturan dengan kasus kasus yang menimpa PMI. Kadang kita dengan mudahnya melemparkan tanggung jawab kepada KBRI atau KJRI bahkan ke pemerintah indonesia bila ada kasus yang menimpa saahabat sahabat kita sesama PMI. Kalo saya pribadi sempat terbersit ucapan ibu saya "kamu adalah orang terdekat dari saudaramu...bantu mereka semampumu. jangan jadi kambing conge melihat penderitaan saudaramu". Arti dari kalimat ini adalah...bantu saudaramu semampumu dan jangan acuh karena kamu sedang berada di zona nyaman...

Di era digital saat ini, masyarakat membutuhkan kaum intelektual organik. Intelektual organik ialah mereka yang lahir dan bertumbuh kembang dalam permasalahan masyarakat. Mereka hadir di tengah masyarakat untuk mempelajari dan berusaha menciptakan solusi bagi permasalahan lingkungannya. Intelektual organik merupakan mereka yang hadir dari dan untuk masyarakat. Mereka merupakan pihak-pihak yang berpegang pada sekitarnya untuk menciptakan pembaharuan, serta tidak duduk hanya untuk mengamati dan menilai perilaku sosial semata. Kaum yang merupakan benih-benih yang ditanam di bangku-bangku sekolah maupun sudut-sudut daerah. Tidak ada tingkatan yang pasti untuk menentukan siapa yang layak menjadi intelektual organik. Namun satu syarat pasti dari kaum ini ialah kehendak untuk belajar dan kesadaran untuk memahami permasalahan masyarakat. Kaum intelektual yang diharapkan hadir untuk meletakkan permasalahan sosial melalui pendekatan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, sains tidak lagi dapat dianggap gagal dalam menjawab permasalahan manusia.

Tapi sebagai seorang muslim....benih benih intelektual organik seharusnya sudah terbentuk bukan hanya di era digital saat ini tapi sudah sejak 1400 tahun yang lalu sebagaimana junjungan kita yang tercinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan contoh nyata:

عَنِ جابر، رَضِيَ الله عَنْهُمَا، قَالَ : قال رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم: خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Artinya: “Jabir radhiyallau ‘anhuma bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” 

Hadits dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ (no. 3289)

Jadi gimana guys.... bisa jadi PMI intelektual organik?

Mulai dari hal hal terkecil
Mulai dari diri kita
Mulai dari sekarang